Bagaimana mereka memutuskan melarikan diri dari bangsa sendiri, pahit getir di perjalanan, sampai membayar agen untuk menyelundupkan mereka ke negara lain, ditulis di bagian awal.
Suatu Hari Kalau Kita Kena Bencana, Dunia Internasional Juga Bantu: Gugah Para Pemrotes Pencari Suaka
Ternyata untuk sampai ke negara ketiga, seperti Australia, tidak mudah. Izin masuk ke sana bagi para pencari suaka sangat ketat. Sebagian besar dari mereka kini terdampar di negara-negara tertentu, seperti di Indonesia. Di negara transit, mereka kembali menghadapi persoalan baru yang tak kalah kompleks. Suka duka para pencari suaka selama di Jakarta ditulis dalam laporan bagian tengah.
Di bagian akhir laporan mengetengahkan bagaimana reaksi masyarakat sekitar tempat pengungsian yang ternyata pro dan kontra serta apa yang dilakukan oleh pemerintah setempat untuk melindungi pencari suaka. Akhir laporan adalah bagian yang tak kalah penting yaitu mengenai apa sikap UNHCR terhadap para pencari suaka yang dikemas dalam bentuk interview khusus. Selamat membaca.
***
* Kelompok Taliban digambarkan sebagai pelanggar hak asasi manusia yang kejam. Mereka tega membunuh orang-orang tak berdosa.
* Dua saudara kandung Anisa dibunuh pada suatu malam. Sedangkan kakak lelakinya selamat, tetapi cacat seumur hidup karena ditembak.
* Hampir setiap hari, banyak keluarga di negerinya menyaksikan salah satu dari mereka dibunuh.
***
“Mama meninggal di masjid, karena masjid dibom. Bapak juga sudah tua, sudah sangat ketakutan karena mana bisa lari-lari seperti anak muda, hatinya telah rusak setelah ditinggal Mama, akhirnya meninggal,” kata Anisa Husseni, seorang pengungsi asal Afghanistan.
Anisa, perempuan berusia 24 tahun. Dia ingat betul peristiwa tragis yang menimpa ayah dan ibunda akibat kebrutalan gerilyawan Taliban. Dia gambarkan kelompok Taliban sebagai pelanggar hak asasi manusia yang kejam.
“Kalau orang Taliban dia ambil jalan orang, misal kalau kita mau ke Bogor, dia tutup jalan. Nanti orang mau lewat dia bunuh atau ada polisi dia harus dibunuh (bunuh). Kalau dia mau bunuh, kita nggak bisa ngomong apa-apa lagi,” kata Anisa.
Pencari Suaka asal Afghanistan, Anisa. AKURAT.CO/Maidian Reviani
Siang hari itu, saya menemui Anisa di gedung eks Komando Distrik Militer, Kalideres, Jakarta Barat. Bekas gedung militer itu kini disulap oleh pemerintah Jakarta menjadi tempat penampungan sementara bagi para pencari suaka yang terdampar di Jakarta, menunggu penempatan ke negara tujuan.
Anisa bersama sekitar 1.200 orang sampai 1.400 orang pencari dari 12 negara sekarang menghuni tenda-tenda darurat. Menurut data Dinas Sosial pada Rabu 17 Juli 2019, 12 negara itu meliputi Afghanistan, Pakistan, Sudan, Iran, Irak, Yaman, Somalia, Ethiopia, Eritrea, Suriah, Palestina, dan Cina. Tetapi secara keseluruhan, jumlah pencari suaka yang tersebar di berbagai berada di Indonesia mencapai 14 ribu.
Ibu anak satu ini tidak bisa berbahasa Inggris, apalagi Indonesia. Dia bicara dengan bahasa Persia. Untungnya, ada Ali Nazari yang baik hati. Lelaki berusia 14 tahun itu juga dari Afghanistan, tetapi sudah lebih dulu tinggal di Jakarta. Dialah yang menerjemahkan ucapan Anisa ketika saya wawancara, walau tidak begitu jelas sehingga harus diulang-ulang.
Tak hanya orangtua Anisa yang menjadi korban kebrutalan kelompok Taliban, dua saudara kandung Anisa dibunuh pada suatu malam. Sedangkan kakak lelakinya selamat, tetapi cacat seumur hidup karena ditembak. Salah satu tangannya buntung dan salah satu kakinya pincang. Sekarang, dengan segala keterbatasan, kakak Anisa masih bertahan di Afghanistan.
“Taliban udah ambil apapun dari hidupnya (kakak Anisa), dia (kakak Anisa) udah nggak punya apa-apa di Afghanistan. Hidupnya susah, dia nggak bisa kerja, dia nggak bisa apa-apa,” kata Anisa sembari mengelap keringat di jidatnya.
Anisa menggambarkan gerilyawan Taliban sebagai kelompok yang tidak mengenal orang dewasa maupun anak kecil. Siapapun yang ada di hadapannya bisa langsung dibantai.
Hampir setiap hari, banyak keluarga di negerinya menyaksikan salah satu dari mereka dibunuh.
Pencari Suaka asal Afghanistan, Anisa. AKURAT.CO/Maidian Reviani
“Misal istri, anak, anak, terus suami, di depan family-nya itu suaminya dibunuh. Anak yang lima bulan, dua bulan dibunuh di depan family-nya. Nggak penting buat dia (Taliban) orang. Rumah-rumah di situ udah rusak, kena bom, dah nggak ada rumah-rumah di sana lagi. Main-main (sex) sama wanita dewasa, anak perempuan yang masih kecil.”
Terutama anak-anak tak berdosa. Mereka paling merasakan kekejaman perang. Anak-anak tidak bisa bermain, apalagi sekolah. Banyak gedung tempat belajar yang dihancurkan dengan bom.
Anisa tidak bisa lebih lama lagi bertahan hidup di tengah-tengah kekejaman di negerinya. Dia memutuskan untuk melarikan diri.
Anisa memiliki impian menyusun kehidupan baru. Dia bertekad menyusul suami yang lima tahun sebelumnya sudah lebih dulu melarikan diri dari Afghanistan dan sekarang mendapat tempat sementara di Indonesia, tepatnya Serpong, Tangerang, Banten.
Pada suatu hari, pasukan Taliban mendekati kediaman Anisa. Tak mau buang-buang waktu lagi, dia dan putrinya cepat-cepat lari meninggalkan rumah. Naas bagi dua saudara kandung Anisa yang langsung dibunuh gerilyawan.
Anisa menyelamatkan diri ke arah pegunungan dengan mengendarai mobil. Tetapi untuk menemukan tempat aman di sana, tidaklah gratis. Ada saja yang memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan di tengah penderitaan. Dia harus membayar sejumlah uang kepada orang yang menjanjikan dapat menunjukkan rute ke daerah aman.
“Misal kayak dari sini ke Bogor kan dekat, tapi di Bogor tempat aman. Tapi satu orang kalau mau ke tempat aman harus bayar, kalau dirupiahin mungkin Rp10 juta dari sini ke Bogor harus bayar masuk. Karena takut, akhirnya kita kasih duit itu, kita jual mobil kita supaya bisa pergi ke tempat aman,” ujarnya.
Sesampai di tempat aman, Anisa ternyata tak bisa langsung selonjoran kaki. Ketakutan terus menerus menyelimuti. Gerilyawan Taliban berkeliaran dimana-mana.
“Kita berapa hari nggak makan, tapi seperti sudah makan, kenyang, seperti itu. Kita udah lupa makan, pokoknya cari tempat yang aman saja. Karena orang di sana belum percaya 1 menit saja bisa hidup, karena Taliban ada dimana-mana.”
Anak perempuannya menjadi salah satu alasan bagi dia untuk tetap kuat berdiri. Sebenarnya dia sangat kasihan dengan putrinya karena selalu menangis, menahan lapar dan lelah yang amat sangat.
Di perjalanan, Anisa sering menyaksikan anak-anak meninggal karena menangis terus – menahan lapar dan lelah.
“Di sana (tempat aman) juga mulai fighting-fighting (Taliban). Habis itu dari sana pindah lagi ke tempat yang aman. Dan dari situ komunikasi sama suami katanya datang ke Indonesia saja, nggak usah di sana (Afghanistan) lagi, karena hidupnya susah banget,” kata dia.
Perjuangan berikutnya dilalui Anisa maupun warga Afghanistan lainnya setelah ke luar dari tempat aman menuju bandara pada suatu malam. Anisa sama sekali tak punya bekal apapun.
“Kita naik transportasi mobil ke bandara. Cuma nggak ada barang-barang yang kita bawa, (waktu itu) ke luar malam hari,” kata Anisa.
Setelah bertaruh nyawa, Anisa dan putrinya selamat sampai bandara. Dia sudah siap dengan segala kondisi yang bakal terjadi setelah ini, menuju tanah harapan baru.
***
Anisa dan putrinya melakukan perjalanan ke Asia Tenggara menggunakan agen. Ongkos yang mereka keluarkan sebesar 8.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp111.344.000.
“Itupun (sekarang) belum dibayar (utang), nanti kita cari duit nggak tahu darimana,” kata Anisa.
Ali yang mengikuti saya selama proses wawancara dengan Anisa menambahkan sulit sekali bagi pencari suaka asal Afghanistan melarikan diri ke luar negeri tanpa menggunakan jasa agen. Afghanistan menjadi negara yang diblacklist karena merupakan daerah konflik dan juga banyak dari masyarakatnya meninggalkan negara dan tidak kembali lagi.
“Kalau mau datang langsung ke negara lain, misal kalau ada yang mau usaha di sini, harus ada jaminan, itu baru bisa. Jadi kalau langsung nggak bisa, harus sama agen,” kata Ali.
Itu sebabnya, kata dia, banyak pengungsi Afghanistan di berbagai negara yang tidak lagi memegang paspor. Paspor mereka rata-rata ditahan agen.
Pencari Suaka asal Afghanistan, Anisa. AKURAT.CO/Maidian Reviani
“Jadi diambil supaya aman. Orang imigran yang dia waktu sampai di Indonesia atau di manapun, diambil paspor kita dan nggak dikasih lagi, hilang, sudah tidak ada. Paspor aku sama mamah aku juga sudah hilang, karena dipegang sama dia (agen).”
“Jadi intinya ada orang yang mengurusi transportasi kita dari sana ke sini (Jakarta). Dia kita bayar pokoknya untuk mengurusi kita,” tambah dia.
Pesawat yang membawa Anisa dari Afghanistan transit di beberapa negara, seperti India, Singapura, Malaysia, sebelum ke Jakarta.
Anisa punya cerita ketika tertahan di India. Agen meminta dia membayar ongkos perjalanan dulu. Dia terpaksa mencari pekerjaan di sana selama tiga bulan dan hasilnya ternyata jauh dari harapan.
“Tapi sampai sini (Indonesia) juga belum bisa bayar. Waktu sampai ke Indonesia, agen itu setiap hari kontek, kalau kamu nggak bayar aku ambil anak kamu. Aku di sini nggak ada apa-apa, rumah nggak ada, kerja belum bisa. Tapi sekarang udah dibuang nomor agennya, jadi nggak tahu sekarang bagaimana,” ujar dia.
Singkat cerita, dia bisa terbang lagi menuju Malaysia. Sepanjang perjalanan, Anisa kembali berdoa supaya cepat sampai.
“Yang lama itu dari India ke Malaysia, sekitar 6-8 jam,” katanya.
“Setelah kabur, feelingnya bagus karena udah lari dari Taliban. Tapi kalau ingat bayar utang, sedih, karena nggak tahu bagaimana nanti bayarnya,” dia menambahkan.
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan itu, akhirnya Anisa dan putrinya tiba di Jakarta.
Anisa tidak hafal nama bandara yang didarati pesawatnya hari itu. Dia cepat-cepat menuju bagian imigrasi karena ingin segera ketemu suami.
Di kantor imigrasi bandara, Anisa menjalani interogasi singkat. Dia bersyukur prosesnya berlangsung lancar.
“Ditanya bapak sama mamahnya dimana. Pokoknya cari alasan kenapa keluar dari Afghanistan, ditanya itu saja,” kata dia.
Setelah lolos dari pemeriksaan di imigrasi, Anisa dan putrinya langsung menuju tempat penjemputan.
Agen yang menyeberangkan Anisa ke Jakarta, membekali sejumlah uang yang kemudian dipakai untuk membayar taksi online yang mengantarkan ke Serpong. Tapi sebelum masuk mobil, petugas agen mengambil paspor Anisa dan putrinya.
“Kita langsung ke Serpong, karena suami ada di sana. Kita dari sana, dia (agen) kasih duit, kalau kita dapat duit nanti kita kasih ke Grabnya,” ujar dia.
***
Taksi online meluncur ke sebuah tempat. Di situlah, Anisa dan putrinya akhirnya berhasil jumpa orang yang selama ini memberi harapan.
Pertemuan pertama Anisa dan suami berlangsung biasa-biasa, walau mereka sudah bertahun-tahun tak ketemu. Rasa lelah yang dirasakan Anisa seakan-akan membuatnya tak bisa mengekspresikan lagi rasa suka cita.
“Feeling aku nggak bagus, takut, capek. Anak waktu lihat bapaknya udah manggil-manggil, itu bapak aku, terus digendong,“ kata dia.
Untuk sejenak, di sebuah tempat tinggal di Serpong, mereka melupakan perjuangan berat berikutnya yang sudah menanti, untuk mendapatkan tiket suaka yang tidak tahu sampai kapan.
Pencari suaka di Gedung Eks Kodim, Kalideres. AKURAT.CO/Maidian Reviani
Anisa tak bisa lama-lama tinggal di tempat suami. Menurut peraturan pengungsi yang bisa tinggal di sana hanya yang sudah teregistrasi United Nations High Commissioner for Refugees.
Itu sebabnya, setiap hari, Anisa dan putrinya berpindah-pindah, tinggal di satu tempat pengungsi ke tempat pengungsi yang lain.
Sampai akhirnya mereka pindah ke depan rumah detensi imigrasi, Kalideres (sebelum dipindah ke bekas gedung Kodim). Di sana, mereka tinggal di emperan bersama para pencari suaka lainnya.
Di negeri baru ini, mereka menghadapi perjuangan berat untuk bertahan hidup dan mencari kepastian negara yang mau menerima pengungsi korban perang.
Tetapi kalau dibanding-bandingkan, perjuangan hidup di Jakarta tak seberapa berat kalau membayangkan kebengisan Taliban.
Selama tinggal di Kalideres, Anisa dan para pengungsi lainnya seringkali mendapatkan bantuan cuma-cuma dari masyarakat.
“Cuma kasih makanan aja kalau ada orang lewat. Kalau mandi di masjid,” ujarnya.
Sebenarnya Anisa maupun pengungsi lainnya ingin berinteraksi dengan masyarakat. Hanya saja, mereka tidak bisa melakukan itu karena tidak bisa bicara dengan bahasa Indonesia.
Itu sebabnya, mereka lebih banyak beraktivitas dalam komunitas.
“Kita nggak bisa ngapa-ngapain. Tapi untung suami bisa Bahasa Indonesia, jadi bisa terbantu sedikit,” kata dia.
Anisa juga memegang kartu identitas yang dikeluarkan UNHCR. Kartu ini yang melindunginya.
Pencari suaka di Gedung Eks Kodim, Kalideres. AKURAT.CO/Maidian Reviani
Anisa yang ketika saya temui mengenakan baju warna merah memuji negara Indonesia yang jauh lebih aman ketimbang negaranya yang setiap hari terjadi kekejaman. Dia juga suka dengan sikap orang Indonesia yang memiliki sopan santun.
“Di sini lebih bagus dari Afghanistan. Tempatnya aman, meski kita juga nggak ada tempat tinggal, tapi lebih bagus dari pada perang di Afghanistan. Di sini orang-orangnya ramah,” kata Anisa.
“Problem itu nggak ada, cuma masalah tempat aja, nggak pernah ngalamin hal buruk,” dia menambahkan.
Pada awal Juli 2019 lalu, ratusan pencari suaka mendatangi kantor UNHCR yang berada di Kebon Sirih, Jakarta, Pusat. Mereka menginap di depan kantor semalam untuk meminta lembaga itu mengerti keadaan mereka: membantu menempatkan pengungsi ke negara penerima.
“Kita cuma minta satu chance (kesempatan), tempat yang aman, tempat kita sendiri. Masalahnya kita juga nggak tahu UNHCR udah registration apa belum,” ujarnya.
Mereka berharap betul segera mendapatkan kepastian. Masalahnya, Indonesia bukan negara yang ikut menandatangani konvensi tentang pengungsi tahun 1951 sehingga negeri ini cuma dapat menjadi tempat transit sebelum lembaga PBB itu menempatkan mereka ke negara tertentu.
“Kita juga nggak tahu mau kemana. Tapi yang kita mau banyakan ke Australia. Karena imigran di sana ada banyak, terus ada kerja banyak untuk kita, di sana ada pekerjaan. Mau kerja di sana lebih gampang. Kita mau ke luar dari tempat ini (Indonesia), minta tolong dari government Indonesia atau UNHCR udah itu aja.”
Sumber : Akurat.co
Editor : Ges
Tidak ada komentar:
Posting Komentar