Selasa, 23 Juli 2019

Kalau Negaraku Aman, Aku Tak Tinggal di Sini: Pahit Getir Pencari Suaka Bertahan di Jakarta

Salam sejahtera bagi pembaca Berita Good Day, kali ini saya akan memberikan berita terhangat yang Saya baca di artikel artikel terkait, Alasannya sama seperti pengungsi Afghanistan lainnya, Shakila mengajak ketiga anaknya kabur dari negara mereka yang digambarkan sudah hancur lebur.
* Mereka tidak punya pilihan selain menunggu. Kembali ke negara asal sudah tak mungkin karena sehari-hari harus menghadapi ancaman dan kekerasan dari kelompok Taliban.
* Peristiwa itu menjadi pemberitaan hangat di media massa. Pemerintah Jakarta pun segera mengambil langkah karena tak ingin melihat begitu banyak pencari suaka terdampar di Kebon Sirih.


***
Suatu Hari Kalau Kita Kena Bencana, Dunia Internasional Juga Bantu: Gugah Para Pemrotes Pencari Suaka
“We all deserve equal rights. Please register us.”

Kalimat tertulis di sebuah karton berwarna biru yang ditempelkan pada dinding sayap kanan gedung bekas Komando Distrik Militer, Kalideres, Jakarta Barat.

Tadi sebelum menemukan kalimat pengharapan para pencari suaka itu, pada pagar bewarna hijau terdapat tulisan peringatan bahwa warga negara asing dilarang ke luar masuk kawasan di atas pukul 22.00 WIB.

Pencari suaka di Gedung Eks Kodim, Kalideres. AKURAT.CO/Maidian Reviani
Di kawasan itulah sekarang hidup 1.200 sampai 1.400 pencari suaka dari 12 negara. Tempat hunian sementara ini disediakan pemerintah Jakarta. Pengungsi ditempatkan di sana untuk sementara waktu sambil menunggu perkembangan informasi dari UNHCR.

Para pengungsi mengisi semua ruang kosong. Ada yang tinggal di dalam gedung, emperan, hingga halaman dengan mendirikan tenda-tenda darurat.

Ketika saya datang ke sana awal pekan pertengahan Juli 2019, di salah satu area sedang berlangsung pemeriksaan kesehatan yang dilakukan petugas Puskesmas Kecamatan Kalideres. Sebagian besar pengungsi antre untuk diperiksa. Sebelum diperiksa, mereka terlebih dahulu diminta menunjukkan kartu identitas – semacam KTP -- yang dikeluarkan UNHCR.

Saya kemudian berjalan ke tenda berukuran besar yang terletak di sebelah kiri gedung. Tenda bertuliskan dinas sosial itu dipakai pengungsi yang tak kebagian tempat di dalam gedung.

Ketika saya melongok ke salah satu tenda, datang seorang remaja yang belakangan diketahui bernama Ali Nazari. Dia mencolek punggung saya dan berkata: “Darimana? Ada yang bisa saya bantu?”

Pemuda berusia 14 tahun itu berasal dari Afghanistan. Dia sudah setahun terdampar di Ibu Kota Jakarta. Anak muda yang mengenakan kaus putih itu bisa sedikit bahasa Indonesia, tetapi kemampuan bahasa Inggrisnya jauh lebih baik.

“Di sini banyak (pengungsi), 1.000-an orang, termasuk anak-anak,” kata Ali.

Pencari suaka di Gedung Eks Kodim, Kalideres. AKURAT.CO/Maidian Reviani
Tak lama kemudian datang pemuda lagi yang tak lain kakak kandung Ali, yang biasa dipanggil Nazari. Nazari sudah teregistrasi di UNHCR (masih menunggu penempatan di negara baru).

Nazari sudah tujuh tahun mengungsi di Indonesia. Nazari bersama sejumlah pencari suaka untuk sementara waktu tinggal di Serpong, Tangerang, Banten. Hari itu dia datang ke Kalideres untuk menjenguk Ali yang belum teregistrasi UNHCR. Karena belum teregistrasi, Ali masih ditempatkan di gedung eks Kodim.

Walau sudah cukup lama berada di Indonesia, kemampuan bahasa Indonesia yang dimiliki Nazari masih terbata-bata seperti adiknya.

“Kalau belum teregistrasi (UNHCR), kenapa?” tanya saya.

“Kalau belum, UNHCR tidak akan bertanggungjawab terhadap imigran,” kata Nazari.

Pencari suaka di Gedung Eks Kodim, Kalideres. AKURAT.CO/Maidian Reviani
Tidak lama setelah berbicang-bincang dengan Nazari, saya meminta bantuan Ali untuk berkomunikasi dengan sejumlah pengungsi asal Afghanistan yang umumnya hanya bisa berbahasa Persia.

Dia membawa saya ke halaman gedung sayap kanan. Di area itu banyak tenda berukuran kecil yang di dalamnya dipenuhi pengungsi.

Kami bertemu Shakila Tahiri. Perempuan berusia 39 tahun ini memiliki tiga orang anak: Syamsuddin (10), Syahlo (8), dan Abul Faiz (5). Mereka baru datang ke Jakarta sekitar enam bulan lalu.

Shakila dan ketiga anaknya menempati tenda warna hijau berukuran 200 x 120 x 110 sentimeter yang dibeli dari uang pribadi.

Suami Shakila sudah lebih dulu masuk Indonesia dan sekarang berada di tempat penampungan daerah Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka pernah bertemu sekali, tetapi Shakila segera kembali ke Jakarta karena tidak ingin kehilangan informasi dari kantor UNHCR.

***
Alasannya sama seperti pengungsi Afghanistan lainnya, Shakila mengajak ketiga anaknya kabur dari negara mereka yang digambarkan sudah hancur lebur.

“Di situ nggak ada harapan, misal hari ini mau siap-siap mau berangkat kerja, keluar mati. Atau udah pulang kerja, tapi pulang mati. Anak mau pergi ke sekolah, mati nggak balik lagi. Ada anak-anak kecil seperti mereka berapa ratus orang mati, nggak ada kehidupan yang jelas di sana. Udah seperti zoo, hancur,” kata Shakila.

Shakila meyakini tidak akan terlalu lama menunggu di Indonesia untuk mendapatkan tempat baru.

Sesampai di Jakarta pada enam bulan yang lalu, dia dibantu Nazari (sesuai permintaan suami Shakila) mendapatkan tempat bermalam untuk sementara di Serpong, Tangerang, Banten.

Pencari suaka asal Afghanistan, Shakila. AKURAT.CO/Maidian Reviani
Selanjutnya, dia dan pengungsi lainnya pindah tempat bermukim di tepi jalan, samping kantor perwakilan UNHCR, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, selama dua bulan. Mereka tinggal di sana sambil terus berharap UNHCR segera membantu mencarikan negara yang mau mengadopsi pencari suaka.

Mereka tidak punya pilihan selain menunggu. Kembali ke negara asal sudah tak mungkin karena sehari-hari harus menghadapi ancaman dan kekerasan dari kelompok Taliban.

Setiap hari, di dekat kantor UNHCR, para pencari suaka hanya bertahan dan bertahan menunggu. Mereka tidak bisa bekerja karena hukum di Indonesia melarang pencari suaka bekerja. Praktis, mereka hanya bisa menunggu bantuan atau kalau masih punya uang sisa, itulah yang mereka pakai untuk membeli makan dan minum.

“Datang ke UNHCR cuma dapat ID, tapi nggak dapat bantuan makan, tempat tinggal untuk sehari-harinya,” katanya.

Pada suatu hari ketika Abul Faiz – anak bungsu Shakila – sedang duduk di trotoar, sebuah sepeda motor menabraknya. Abul Faiz terluka. Kemudian dia dibawa ke puskesmas terdekat. Shakila sedih sekali karena tak punya dana ketika itu. Tetapi kesedihan itu segera hilang – meski sementara -- karena petugas puskesmas tidak membebani biaya pengobatan Abul Faiz.

Pada waktu kabur dari Afghanistan, Shakila hanya membawa beberapa potong pakaian. Itu sebabnya, selama di Jakarta, dia dan anak-anaknya hanya memakai pakaian yang itu-itu saja.

Pencari suaka asal Afghanistan, Shakila. AKURAT.CO/Maidian Reviani
“Kita nggak bisa bawa barang banyak-banyak, satu wanita bawa tiga anak itu gimana,” kata Shakila.

Imbas dari hanya memakai pakaian yang itu-itu saja dan jarang dicuci (karena sulit cari tempat cuci pakaian), anak-anak Shakila kerap mengalami gatal-gatal.

“Anak-anak badannya pada kotor, bau, beberapa hari nggak ganti baju, nggak mandi. Jalanan kecil, bau, panas, anak-anak baru datang juga badannya pada sakit, gatel-gatel, korengan,” katanya.

Shakila maupun pencari suaka lainnya tidak tahu sampai kapan harus merasakan penderitaan fisik maupun mental. Tak tahu sampai kapan menunggu informasi ada negara yang mau mengadopsi pencari suaka.

Shakila bersyukur, walau tidak ada hari yang santai karena sejak menginjakkan kaki di Indonesia selalu pindah-pindah tempat pengungsian, ada saja orang Indonesia yang baik.

Misalnya, terkadang ada warga yang bersedia kamar mandinya dipakai untuk mandi anak-anak.

“Tapi ada juga yang nggak mau kasih masuk (ke kamar mandi). Mandi susah, cuci baju susah,” ujarnya.

Sebelum bermukim di tenda samping kantor UNHCR, sebenarnya Shakila berada di Makassar, Sulawesi Selatan, ikut suami yang mendapat tempat penampungan di sana. Tetapi dia tidak bisa lama-lama di Makassar karena dihubungi perwakilan UNHCR.

Waktu mendapatkan telepon itu, dia merasa impian mendapatkan izin ke negara ketiga untuk meniti kehidupan yang lebih baik sudah di depan mata. Sesampai di Jakarta, ternyata dia harus menunggu lagi.

Kepada saya, dia menyampaikan uneg-uneg betapa besar harapannya kepada perwakilan UNHCR.

“Lihat sendiri, siapa suka anaknya (hidup) begini, tinggal seperti ini, tidak suka kan?” katanya.

Pencari suaka asal Afghanistan, Shakila. AKURAT.CO/Maidian Reviani
“Kalau negaraku aman, kenapa aku tinggal di sini, kan di negaraku enak-enak. Aku nggak dateng buat makan di sini, bukan untuk makan gratis. Tapi kalau aku nggak aman, bagaimana?”

Setelah dua bulan mengungsi di Kebon Sirih, Shakila dan keluarga mendapat bantuan tempat tinggal sementara di salah satu panti asuhan.

“Ada panti asuhan itu bantu-bantu orang susah. Dapat bantuan uang dari mereka. Tapi itu buat sementara, katanya bulan depan atau kapan dia bilang aku sudah nggak bisa bantu lagi. Mereka nggak jamin bisa lama di sana,” kata dia.

Setelah panti asuhan menghentikan bantuan, Shakila membawa ketiga anaknya kembali mengungsi di samping kantor perwakilan UNHCR. Waktu itu di sana sudah ada ratusan pencari suaka (yang sebelumnya berada di sekitar rumah detensi Kalideres atau di sejumlah rumah sewaan) yang bernasib sama. Mereka meminta UNHCR segera menentukan negara dunia ketiga mana yang mau menerima pencari suaka.

Peristiwa itu menjadi pemberitaan hangat di media massa. Pemerintah Jakarta pun segera mengambil langkah karena tak ingin melihat begitu banyak pencari suaka terdampar di Kebon Sirih. Dicarikanlah tempat penampungan baru di Kalideres.

Setelah ratusan pencari suaka menginap satu malam di sekitar kantor UHNCR, mereka direlokasi ke tempat baru.

Shakila berterimakasih kepada Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang dianggapnya peduli dengan nasib pencari suaka dengan menyediakan tempat hunian sementara.

Pencari suaka di Gedung Eks Kodim, Kalideres. AKURAT.CO/Maidian Reviani
“Sekarang kita meski terimakasih kepada gubernur Jakarta, kalau kita bisa cium tangan dia. Dia kasih chance (kesempatan) untuk orang imigran seperti ini.”

“Kemarin kita tinggal lama di Kebon Sirih, lihat mereka (orang-orang UNHCR) pakai mobil mewah, gajinya gede-gede, dari atas jendela mereka lihat (imigran), mereka pakai AC di situ. Tapi gubernur tahu ada orang susah begini, langsung kasih chance (kesempatan) bagus ke imigran. Banyak mau terimakasih, kita nggak bisa kasih apa-apa, tapi kita bisa beroda untuk pak gubernur.”

Suasana hati Shakila tercermin dari kalimat yang meluncur deras dari mulutnya. Masa penantian yang sangat panjang dan tak pasti jelas-jelas berdampak pada emosionalnya.

Walau bimbang, Shakila tetap berusaha meyakini nasib baik akan berpihak padanya, terutama anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak. Dia tetap bermimpi pada suatu hari nanti akan diterima negara Australia, Kanada, atau Amerika Serikat.

“Terimakasih juga untuk negara Indonesia, karena nggak ada yang gangguin. Bertahun-tahun banyak imigran di sini, tapi nggak ada yang ganggu, jahat, kita terima kasih juga.”

Di gedung eks Kodim, kebutuhan makan, minum, serta istirahat lebih terjamin. Mereka mendapatkan bantuan makanan dari dinas sosial sebanyak dua kali sehari, siang dan malam. Menu makanannya, seperti ikan, tempe, mie, dan nasi putih. Sebenarnya, pemerintah Jakarta pada awalnya hanya menyanggupi membantu selama tujuh hari, tetapi belakangan diperpanjang sampai batas waktu yang tak ditentukan.

Siang itu, saya melihat beberapa pencari suaka berdiri antre untuk mengisi botol air minum dari dispenser yang ditempatkan di salah satu area.

Dinas sosial juga menyediakan toilet umum. Tetapi menurut Nazari, toilet itu banyak yang rusak karena begitu banyak orang yang giliran memanfaatkannya.

Toilet di tempat penampungan Eks Kodim, Kalideres. AKURAT.CO/Maidian Reviani
Bahkan ketika saya ingin buang air kecil saja, toilet yang penutupnya berwarna oranye itu tidak dapat ditutup, karena pintunya rusak. Terpaksalah saya minta bantuan petugas untuk menahan pintu agar tidak terbuka.

Untuk mandi, sebagian besar para pencari suaka harus pergi ke tempat mandi umum di ujung jalan yang jaraknya sekitar 180 meter dari tempat mengungsi. “Bayar (mandi) setiap masuk Rp3 ribu,” ujar Ali.

Saya dan Ali pun mendatangi kamar mandi umum itu. Tulisan tarif Rp2 ribu untuk berak dan Rp3 ribu untuk mandi terpampang di dinding toilet. Beberapa imigran ketika itu sedang antre menggunakan kamar mandi.

Toilet yang digunakan pencari suaka. AKURAT.CO/Maidian Reviani
***

Seorang lelaki paruh baya menggandeng tangan seorang murid sekolah di sebelah tempat pengungsian sementara. Mereka agaknya warga Kalideres. Mereka berjalan kaki dengan santai meninggalkan gedung sekolah.

Pemandangan itu menakjubkan buat Ali.

“Di sini enak ya bisa seperti itu, di sana mana ada seperti ini, yang ada lari-lari (menyelamatkan diri dari Taliban),” ujar Ali.

Sumber : Akurat.co
Editor : Ges

Tidak ada komentar:

Posting Komentar